Zombie Outbreak Kisah Survival di Dunia Tanpa Aturan

Banyak cerita tentang Wabah zombie Outbreak  bermula dari jalanan yang penuh dengan bencana, pusat kota yang terbakar, dan televisi yang menyebarkan kehancuran. Namun, sedikit yang mengetahui kisah dari balik mikrofon tua di ruang siaran kecil tempat di mana suara terakhir umat manusia terus disiarkan, meski tak ada lagi pendengar yang menjawab.

Saya adalah Arief, operator komunitas radio di daerah pegunungan Jawa Barat. Saya bukan tentara, bukan ilmuwan, dan bahkan bukan orang penting. Tapi saya punya satu hal: sinyal. Dan saat dunia mulai runtuh, suara saya menjadi satu-satunya hal yang tersisa.

Awal dari Segalanya Zombie Outbreak

Tahun 2043, MindNet diluncurkan sebagai teknologi revolusioner. Melalui permainan nanoteknologi yang ditanamkan di otak, manusia dapat:

  1. Mengakses internet tanpa perangkat
  2. Berkomunikasi melalui telepon
  3. Menyimpan memori di cloud

Hari Hari Awal Wabah Zombi Outbreak

Wabah itu pertama kali saya mendengar dari transmisi luar kota perilaku aneh, menggigit tanpa alasan, tidak bereaksi terhadap luka serius…” Saya pikir itu hoaks. Drama Halloween. Tapi malam itu, saya menerima siaran darurat dari stasiun militer di Jakarta. Suaranya panik:

“Semua penduduk diharap tetap berada di dalam rumah. Ini bukan latihan. Ulangi: BUKAN latihan.”

Keesokan paginya, internet mati. Listrik padam di beberapa wilayah. Dan gelombang radio menjadi satu-satunya sumber informasi.

Renungan Apakah Mereka Mati?

Ini pertanyaan yang memecah belah umat manusia: apakah mereka sudah mati? Ataukah mereka hanya “hilang dalam jaringan”?

Beberapa orang optimis bahwa kesadaran mereka masih bisa pulih dengan pemulihan server utama. Yang lain memilih memutus semua yang tersambung, menganggap mereka telah hilang selamanya

Wabah Zombie Outbreak Tanpa Luka

Makhluk ini tidak berdarah, tidak menggeram, tidak menyerang secara fisik tetapi lebih berbahaya: mereka menyebarkan sinkronisasi mental melalui kontak langsung, suara, bahkan sinyal nirkabel.

Bayangkan: seseorang mendekat, berbicara pelan, dan dalam 30 detik, Anda lupa siapa Anda, apa nama Anda, dan menjadi bagian dari “mereka”.

Perlawanan Digital

Kelompok hacker dan teknologis independen membentuk jaringan bawah tanah bernama FREE Firewall Resistance for Earth’s Emancipation. Mereka menyebarkan alat gangguan elektromagnetik dan helm anti sinyal untuk melindungi otak manusia dari pengaruh chip.

Mereka Datang

Seminggu kemudian, saya melihat sendiri sosok berjalan singkat seok melewati desa. Badannya sobek, wajahnya tak lagi manusia. Dia adalah Pak Sarwan, pensiunan guru. Anak anak melempar batu ke tiba-tiba… dan dia berlari. Kecepatan yang tidak wajar bagi seseorang yang seusianya apalagi yang sudah bernafas.

Stasiun Radio Jadi Benteng

Saya mengunci diri di ruang siaran. Generator kecil cukup untuk menyalakan alat siar. Setiap hari saya menyebarkan:

  1. Lokasi aman
  2. Permintaan bantuan dari warga
  3. Kode morse dari penyalinan lainnya

Kadang ada balasan. Kadang hanya senyap. Tapi saya terus bicara.

“Untuk siapa pun yang mendengar ini, Anda tidak sendiri. Jangan menyerah.

Suara dalam Kesunyian Zombie Outbreak 

Suatu malam, saya menangkap sinyal samar dari arah timur:

Zona aman di Gunung Lawu… butuh dukungan medis… kami masih bertahan.

Saya menangis malam itu. Bukan karena takut tapi karena harapan.

Akhir Yang Tidak Pasti

Sudah 187 hari sejak siaran terakhir dari pemerintah. Saya tak tahu apakah ada yang masih mendengar. Tapi setiap pagi, saya hidupkan pemancar. Saya bacakan cerita. Saya putarkan lagu. Kadang saya tertawa sendiri, kadang menangis.

Radio ini mungkin bukan senjata. Tapi ini adalah pengingat bahwa di tengah dunia yang membusuk, suara manusia masih bisa bertahan.

Zombie tidak hanya merenggut nyawa. Mereka merampas suara manusia. Tapi selama ini masih ada satu orang yang bicara, satu gelombang yang bersiar, maka dunia belum sepenuhnya mati.

By Author